13 Mei 2014
Spongebob dan Patrick
Mungkin
bagi sebagian orang, serial kartun spongbob squarepants hanyalah sebuah
hiburan sekali lewat. Tapi untuk yang menyadarinya banyak sekali pesan
tersirat yang ada pada kartun tersebut. Salah satunya adalah
"PERSAHABATAN".
Betapa berharganya arti persahabatan antara Spongebob dan Patrick. Inilah cuplikan kata - kata persahabatan mereka :
1.”Pengetahuan tidak dapat menggantikan persahabatan. Aku (Patrick) lebih suka jadi idiot daripada kehilanganmu (Spongebob)”
2. Spongebob: Apa yg biasanya kau lakukan saat aku pergi?
Patrick : menunggumu kembali..
3.
Saat Spongebob menjadi kaya dan melupakan patrick, lalu tmn2 Spongebob
yang kaya pergi dari Spongebob karena Spongebob sudah tidak punya uang
lagi, spongebob memohon maaf kepada patrick, dan patrick berkata:
“kalau uang bisa membuatku melupakan sahabat terbaikku, maka aku lebih memilih untuk tidak punya uang sama sekali”
4. Saat Patrick di fitnah mencuri jaring ubur2 Spongebob, Patrick berkata:
”
Tak apa kawan.. aku mungkin hanya bintang laut yang jelek.. lebih baik
aku pergi dari bikini bottom.. ini, ambil saja barang2ku.. tapi aku tak
pernah mengambil jaring mu kawan..”
(Patrick dituduh mencuri jaring tapi dia tetap sabar)
5. Saat Spongebob mau masuk anggota jelly spotter.. terakhir Patrick bilang:
“pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat..”
6.
Saat itu orang tua Patrick mau datang menjenguk anaknya. Tapi Patrick
takut dibilang bodoh oleh orang tuanya. Demi Patrick, SpongeBob bela2in
akting jadi orang bodoh agar orangtua Patrick ga bilang anaknya bodoh.
Lalu Patrick bilang ke SpongeBob: “TEMAN ADALAH KEKUATAN”. Dan Spongebob
pun mengatakan : "Untuk teman terbaik ku aq rela terlihat bodoh".
7.
Pada episode spongebob mencari spatula baru, lalu dia dapat spatula
emas, tapii spatula emasnya tidak menurut sama spongebob akhirnya dia
balik menggunakan spatula nya yg lama.
Lalu Spongebob berkata: “Ternyata semua yg berkilau itu belum tentu emas”
Makalah SGD Luka Sayatan Pada Telapak Tangan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Tetanus merupakan salah
satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit
ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan
neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada
orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah
diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak
melakukan booster secara berkala.
Tetanus
merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka
kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang
berkisar dari 6% hingga 60%.
Selama
20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan
cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan
bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi
diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan
jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat
infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—misalnya akibat perang dan kerusuhan.
Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko
mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang
sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang
tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring
berjalannya waktu. Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SKENARIO
Pak
“A”, laki-laki berusia 58 tahun datang ke Puskesmas dengan luka sayatan pada
telapak tangannya akibat tergores kawat pagar rumahnya 6 jam yang lalu. Setelah
luka dibersihkan dan dibalut, Pak “A” diberi resep antibiotik dan analgetik
oral dan pesan untuk control luka 2 hari kemudian. Dua hari kemudian perban
dibuka, namun luka malah bernanah dan kulit disekitar luka menjadi merah,
bengkak dan nyeri saat ditekan. Dilakukan lagi perawatan luka dan pak “A”
diberikan suntikan Anti Tetanus Serum 1 ampul.
Besoknya Pak “A” mengeluhkan mulutnya makin lama
makin kaku dan sulit dibuka, sehingga tidak bisa makan dan minum. Keluarga
kemudian membawa Pak “A” ke IGD Rumah Sakit. Selama observasi di Rumah Sakit,
Pak “A” tiba-tiba saja kejang-kejang seluruh tubuh. Punggung dan leher kejang
sampai melengkung, dan wajah menyeringai kaku. Saat kejang seluruh tubuh Pak
“A” masih sadar. Pemeriksaan suhu badan didapatkan demam.
2.2. TERMINOLOGI
· ATS
(Anti Tetanus Serum)
Adalah
serum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap toksin tetanus.
Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol 0,25% sebagai
pengawet. Indikasi: untuk pencegahan dan pengobatan tetanus.
2.3. PERMASALAHAN
2.3.1. Apa fungsi pemberian antibiotik pada scenario diatas?
2.3.2. Jelaskan mengapa setelah dibuka perbannya, luka malah bernanah dan
kulit disekitar luka menjadi merah, bengkak dan nyeri saat ditekan!
2.3.3. Apa fungsi pemberian ATS (anti tetanus serum) pada scenario diatas?
2.3.4. Jelaskan mengapa pasien mengalami kesulitan dalam membuka mulut;
punggung dan leher kejang sampai melengkung; serta wajah menyeringai kaku!
2.3.5. Mengapa pasien kejang namun masih dalam kondisi sadar?
2.3.6. Apa diagnosis differential pada skenario diatas?
2.3.7. Apa diagnosis kerja pada skenario diatas?
2.4. PEMBAHASAN
2.4.1. Pemberian
antibiotic pada skenario bertujuan untuk memusnahkan bentuk vegetatif dari bakteri
Clostridium Tetani di tempat luka, namun tidak memusnahkan toksin yang
dihasilkan dari lisisnya badan sel bakteri tersebut.
2.4.2. Penyebab
setelah dibuka perbannya, luka malah bernanah dan kulit disekitar luka menjadi
merah, bengkak dan nyeri saat ditekan adalah karena sifat bakteri yang anaerob
(tidak bisa hidup dan berkembangbiak apabila tempat tersebut kaya akan O2)
sehingga ketika perawatan pada luka tersebut tidak baik (terlalu dibebat) maka
bakteri Clostridium Tetani mudah untuk berkembangbiak oleh karena kurangnyaO2
pada luka tersebut.
2.4.3. Pemberian
ATS pada scenario diatas bertujuan hanya untuk menghilangkan toksin yang
beredar, namun tidak dapat menghilangkan toksin yang sudah berikatan dengan
system saraf. Sehingga seharusnya pemberian ATS ini dilakukan sesegera mungkin
agar tidak menimbulkan keluhan atau gejaa yang lebih berat.
2.4.4. Penyebab
pasien mengalami kesulitan dalam membuka mulut; punggung dan leher kejang
sampai melengkung; serta wajah menyeringai kaku adalah ketika terdapat luka
yang disebabkan baik oleh karena luka tusuk, luka bakar, luka lecet yang
bersifat kotor, ditambah lagi dengan perawatan luka yang kurang baik,
menyebabkan bakteri Clostridium Tetani yang awalnya berbentuk spora berubah
menjadi bentuk vegetative (karena kondisi anaerob). Ketika dinding sel dari
bakteri Clostridium Tetani mengalami lisis, akan dikeluarkan toksin (eksotosin)
yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin berpengaruh terhadap lisisnya
sel darah merah, tapi tidak terlalu berperan terhadap penyakit ini. Sedangkan
yang berperan adalah tetanospasmin, yang mana nantinya toksin ini mudah
berikatan dengan system saraf pusat dan berpengaruh terhadap spasme otot.
2.4.5. Penyebab
pasien kejang namun masih dalam kondisi sadar ; Bakteri clostridium tetani merupakan
bakteri garam positif yang bersifat anaerob. Pada keadaan anaerob ini spora
bakteri bermigrasi menjadi sel vegetative. Selanjutnya, toksik akan di produksi
dan menyebar keseleruh tubuh memalui perearan darah dan limfe. Toksik tersebut
akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti system saraf pusat
termasuk otak. Gejala klonis yang ditimbulkan oleh toksik-toksik tersebut
adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmitter sehingga terjadi kontaksi
otot yang tidak terkontrol. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis
(kehilangan kemampuan untuk bergerak). Karena yang terserang hanyalah
neurotransmitter maka pasien masih selalu sadar hanya otot-otot tubuhnya yang
mengalami klonik. Namun dalam keadaaan bahaya seperti terserang kontraksi
otot-otot pernafasan sehingga terjadi hipoksia yang bisa mencapai hipoksia otak
maka dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien. Maka saat inilah
terjadi resiko kematian yang tinggi.
2.4.6 Diagnosis
Differential (DD)
1.
Tetanus
· Definisi
Tetanus adalah suatu
toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
Tetani yang ditandai dengan spasme otot
yang periodik dan berat. Tetanus
ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanus
disebut juga dengan "Seven day Disease".
· Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus
sudah sangat jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan
baik di samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan
karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,
perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur.
Perkiraan angka kejadian umur rata-rata pertahun sangat meningkat
sesuai kelompok
umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5-19 tahun dan 20-29 tahun, sedangkan peningkatan 9
kali lipat pada kelompok umur 30-39 tahun dan umur lebih 60 tahun.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa pada
anak laki-laki;
dengan perbandingan 3:1.
· Etiologi
Kuman tetanus yang
dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan
ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan
bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan
flagella antigen.
Kuman
tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas
seperti batang korek api (drum stick).
Sifat spora ini tahan dalam
air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20
menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di
tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakan flora usus normal dari
kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora
akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang
biak.
Bentuk
vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman tetanus tumbuh
subur pada
suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah.
Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat
mengfermentasikan glukosa.
Kuman
tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul
150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan
enzim proteolitik. Tetapi
stabil dalam bentuk murni dan
kering.
Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat
mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas),
spasme otot dan kejang-kejang.
Tetanolisin
menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
· Patofisiologi
Clostridium Tetani dalam bentuk
spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu,
tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar, luka lecet,
otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang-kadang luka tersebut hampir tak
terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka
tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan
nekrotis, lekosit yang mati, benda-benda asing maka spora berubah
menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif.
Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai
saraf melalui dua cara:
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui
mioneural junction pada ujung-ujung saraf perifer atau motorik melalui axis
silindrik ke cornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui
pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor
end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak menghambat
alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi
kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf
simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa
hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi
katekolamin dalam urine.
Tetanospamin yang terikat pada
jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin
tetanus.
· Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-21 hari, namun dapat singkat hanya 1-2 hari dan kadang-kadang lebih dari 1 bulan. Makin
pendek masa inkubasi makin jelek prognosanya. Terdapat hubungan antara
jarak tempat invasi Clostridium Tetani dengan susunan saraf pusat dan interval
antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka
inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1. Tetanus
Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering
dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka
seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi
gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara
mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok
otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). 50% penderita
tetanus umum akan menuunjukkan trismus.
Dalam 24-48 jam dari kekakuan otot
menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama
masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut
'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot
muka sehingga muka menyerupaimuka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus
Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,
bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot-otot leher bagian belakang
menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan
gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas
biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan
rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi
dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik
walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita
nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot
pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi
urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.
Kenaikan temperatur badan umumnya
tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati-hati
terhadap komplikasi atau toksin menyebarluas dan mengganggu pusat pengatur
suhu.
Pada kasus yang berat mudah terjadi
overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat
banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.
Menurut berat ringannya tetanus umum
dapat dibagi atas:
a. Tetanus ringan: trismus lebih
dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang.
b. Tetanus sedang: trismus kurang
dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
c. Tetanus berat: trismus kurang
dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
2. Tetanus
Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang
dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri,
kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah
bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang-kadang bentuk ini dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
3. Tetanus
Cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk
ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis
media kronis dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf
loanial antara lain: N. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri-sendiri
maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus cephalic dapat berkembang
menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
Selain berdasarkan gejala klinis,
berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4)
tingkatan, yaitu:
Tabel. Klasifikasi Ablett untuk
Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat
|
Manifestasi
Klinis
|
I (ringan)
|
Trismus ringan sampai sedang; spastisitas
umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan; tanpa
disfagia atau disfagia ringan.
|
II
(sedang)
|
Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang
dalam waktu singkat; laju napas > 30x/menit;
disfagia ringan.
|
III (berat)
|
Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas >
40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat.
|
IV (sangat
berat)
|
(Derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular); hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap.
|
· Diagnosis
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan
pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi,
penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah
diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada
orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).
a. Anamnesis
Anamnesis yang dapat
membantu diagnosis antara lain:
·
Apakah dijumpai luka
tusuk, luka kecelakaan/ patah
tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang?
·
Apakah pernah keluar
nanah dari telinga?
·
Apakah pernah menderita
gigi berlubang?
·
Apakah sudah pernah
mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir?
·
Selang waktu antara
timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang
pertama (period of onset)?
b. Pemeriksaan fisik
Pada
pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
· Trismus adalah kekakuan otot
mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut. Secara klinis
untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
· Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik
sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik
keluar dan kebawah.
· Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti:
otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang
sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
· Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
· Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar,
atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun ― masa
istirahat spasme makin pendek sehingga akan jatuh dalam status
konvulsivus.
· Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai
akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang
dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh
darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak;
kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau
retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi
tulang belakang.
· Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring
dengan menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif,
jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula
memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan
sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang
positif).
c. Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
khas untuk tetanus.
· Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang
yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien
tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
· Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
· Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang
normal.
· Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap
sebagai imunisasi dan bukan tetanus.
· Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat
meningkat.
· EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus
dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati
setelah potensial aksi.
· Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
2. Status
Epileptikus
· Definisi
Pada konvensi Epilepsy
Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
· Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum
terjadi dengan angka kejadian kira-kira 60.000-160.000 kasus dari status
epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status
epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi
berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan
dalam meminum
obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar
1-2%, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan
status epileptikus kira-kira 10%. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu
distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan
bahwa etiologi dari status epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik.
Pada usia tua status epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit
serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak
tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
· Etiologi
Penyebab status epileptikus
sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa, penyebab utama adalah
antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular (22%),
termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status
epileptikus adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis,
ensefalitis, dan abses otak), alkohol, penyakit metabolik, toksisitas obat, dan
tumor.
Bangkitan
merupakan konsekuensi dari suatu penyakit kritis. Penyebab terbanyak bangkitan yang
dirawat ICU adalah sepsis dan penyakit kardiovaskuler. Penyebab bangkitan
lainnya dengan angka kejadian yang tinggi adalah akibat gangguan metabolik dan
intoksikasi akut akibat obat-obatan (antibiotik, gagal ginjal, hepar, CHF,
obat-obat anestesi, atau akibat penghentian obat psikotropik, alkohol).
Penyebab gangguan neurologik primer
adalah akibat stroke iskemik, intraserebral hemoragik, AVM, infeksi SSP, trauma
dan tumor otak dan metastasis dengan angka kejadian bangkitan relatif tinggi. Insiden
bangkitan sebagai komplikasi trauma kapitis sangat bervariasi, dengan perkiraan
2%-12% pada orang biasa dan 53% pada populasi militer. Presentasi dapat
meningkat sampai lebih 22% dengan menggunakan monitor EEG secara terus menerus.
Faktor pencetus
status epileptikus:
1.
Penderita
epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
2.
Pengobatan
yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT..
3.
Keadaan
umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau stres
fisik.
4.
Pengunaan
atau withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi.
· Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak
mekanisme dan masih sangat sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut
adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi yang inefektif pada
neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas reseptor eksitasi atau
inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam kejang
adalah glutamat. Faktor-faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan
menyebabkan terjadinya kejang.
Neurotransmiter inhibitorik yang
berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis GABA seperti penisilin dan
antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu, kejang yang
berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah
menyebabkan kejang.
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh
karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat glutamat yang berlebihan yang
akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan akhirnya menyebabkan
apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh GABA
dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu
sendiri menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah
jika terdapat hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.
Secara klinis dan berdasarkan EEG,
status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme
kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output,
peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan
laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan
asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30
menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang
dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan saraf
irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan
dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang
berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan
pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi
kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak
seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak
(lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling
sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal
dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
· Manifestasi Klinis
Pada status epileptikus konvulsivus manifestasi klinis
dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium sebagai berikut:
1. Pre-status, adalah suatu fase sebelum status
yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan kejang sebelum menjadi
status. Penanganan yang tepat pada fase ini dapat mencegah terjadinya SE.
2. Early status, yaitu 30 menit pertama, di mana
aktivitas serangan konvulsif terus-menerus bersamaan dengan aktivitas serangan
kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan
mekanisme homeostasis.
3. Established status, yang berlangsung dari 30-60 menit,
yang mana pada awalnya mekanisme homeostasis gagal melakukan kompensasi dan
terjadilah perubahan-perubahan dan gangguan sistemik pada fungsi vital tubuh.
4. Refracter status jika kejang berlangsung lebih dari
60 menit, meskipun telah mendapatkan terapi adekuat dengan obat-obatan
antikonvulsan lini pertama.
5. Substle status/super refrakter
status, akan
muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-jam, ditandai dengan
aktivitas motorik berkurang secara bertahap, penderita koma dengan aktivitas
motorik menjadi terbatas, dapat berupa gerakan-gerakan halus (twitching)
sekitar mata dan mulut. Perubahan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan
gambaran EEG menjadi flat di antara letupan-letupan epileptiform (burt-supression
pattern).
· Diagnosis
Diagnosis status epileptikus dapat langsung
ditegakkan bila ada yang menyaksikan bangkitan umum tonik klonik. Status
epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang telah memasuki
fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui adanya minor twitching yang bisa terlihat di
wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk memeriksa 236
pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang,
8% diantaranya mengalami
status epileptikus nonkonvulsif yang terlihat dari gambaran EEG. Oleh karena
itu, pemeriksaan EEG seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya
tidak jelas.
Status epileptikus
terbagi dalam dua fase. Fase pertama ditandai bangkitan tonik-klonik umum yang
berhubungan dengan peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan hipertensi,
hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan hiperpireksia. Selama
fase ini, terjadi peningkatan aliran darah otak oleh karena adanya peningkatan
kebutuhan metabolik otak. Sekitar 30 menit sesudahnya, penderita memasuki fase
kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi otak, penurunan aliran darah
otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan hipotensi sistemik. Selama fase ini
terjadi disosiasi elektromekanik, di mana walaupun aktivitas bangkitan elektrik
di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan bisa hanya berupa minor twitching.
3. Meningitis
· Definisi
Meningitis
adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan
mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superficial. Meningitis dibagi
menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu
meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan
jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus.
Meningitis
purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan
menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik
maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang
paling sering terjadi.
Penularan
kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet
infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan
tenggorok penderita.Saluran nafas merupakan pintu utama pada penularan penyakit
ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara
dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen
(melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya
sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.
· Etiologi
Meningitis
dapat disebabkan oleh virus,bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan
oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena
mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun
produk bakteri lebih berat.Infectious Agentmeningitis purulenta mempunyai
kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling
banyak disebabkan oleh E.Coli,S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes.
Golongan umur dibawah 5 tahun (balita)disebabkan oleh H.influenzae,
Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidisdan Streptococcus Pneumococcus,
dan pada
usia dewasa (>20tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus,
Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria.Penyebab meningitis serosa yang paling
banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosisdan virus.Meningitis yang disebabkan
oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh
sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu
Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackievirus , sedangkan Herpes simplex , Herpes
zooster, dan enterovirusjarang menjadi penyebab meningitis aseptic (viral)
· Patofisiologi
Meningitis
pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan
tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput
otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia,
Bronchopneumonia dan Endokarditis.
Penyebaran
bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ
ataujaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media,
Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa
juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah
otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang
pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus. Mula-mula
pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi; dalam waktu
yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam
beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua
sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam
terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena
di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan
degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang
fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan
oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh
bakteri.
· Manifestasi Klinis
Meningitis
ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah
dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis
karena virus ditandai dengancairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit
penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh
Mumpsvirusditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh
pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada
meningitis yang disebabkan oleh Echovirusditandai dengan keluhan sakit kepala,
muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam,dan disertai dengan timbulnya ruam
makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan
ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak
lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut
timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri
punggung.
Meningitis
bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan
gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan
berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella
yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab
Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh
Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa
biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga
bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyerikepala hebat, malaise, nyeri otot
dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis
Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodormal
selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa.
Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran
berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri
kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi,
dan sangat gelisah. Stadium II atau stadium transisi selama 1 – 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat
dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.
Tanda-tanda
rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat
tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan
gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal
dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebaga imana
mestinya.
· Diagnosis
Pemeriksaan Pungsi
Lumbal
Lumbal
pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
a. ada
Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah
putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada
Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah
putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.
Pemeriksaan
darah
Dilakukan
pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a.
Pada Meningitis Serosa
didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada Meningitis
Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b.
Pada Meningitis
Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
Pemeriksaan
Radiologis
a.
Pada Meningitis Serosa
dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan CT Scan.
b.
Pada Meningitis
Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi geligi)
dan foto dada.
2.4.7. Diagnosis
Kerja
Dari
pembahasan diatas, diagnosis pada pasien ini adalah “Tetanus”.
1. Penatalaksanaan
Tujuan
penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :
a.. Penanganan spasme.
b. Pencegahan komplikasi
gangguan napas dan metabolik.
c. Netralisasi toksin yang
masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf.
Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus
dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus
dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.
Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar
dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
d. Jika memungkinkan,
melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan pabrik penghasil
tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak
diindikasikan.
e. Asuhan keperawatan yang
sangat ketat dan terus-menerus.
f. Lakukan pemantauan
cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu),
terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien
yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia atau
hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang
terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas,
oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain
yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus
terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.
I. Tatalaksana
Umum
a. Mencukupi kebutuhan
cairan dan nutrisi
Pada hari
pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian
obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian
khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
b. Menjaga saluran napas
tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
c. Memberikan tambahan O2
dengan sungkup (masker).
d. Mengurangi spasme dan
mengatasi spasme.
Diazepam
efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Tanda
klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran
membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam
maksimal telah tercapai namun masih spasme atau mengalami spasme laring,
sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga
otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Midazolam iv
atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan
jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
e. Jika karies
dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan konsultasi
dengan dokter gigi/THT.
II.Tatalaksana
Khusus
a. Anti
serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Dosis
ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv.
Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Bila fasilitas
tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam
dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di
tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum
berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung
antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi
HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen
human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan
tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain
penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
· HTIG
disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%).
· Trakeostomi
dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
· Magnesium
diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
· Diazepam
(dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.
· Efek
otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang
berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol,
magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin
atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme
otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis
pada pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan
yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian
pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua
prosedur terapeutik harus
dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat
berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien
mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat
kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan
toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil.
b. Antibiotika
Pada penelitian yang
dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang
digunakan dibeberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan
interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi
jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan
penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat
hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari
(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif
C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis
100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan
pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin
berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA).
2. Komplikasi
a. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot
laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi
sekresi saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga
sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret.
Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi.
b. Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara
lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.
c. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi
perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis
akibat kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa
peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain:
- Laserasi
lidah akibat kejang;
- Dekubitus
karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
- Panas
yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus
akibat komplikasi yaitu: bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan
pneumotoraks.
3. Pencegahan
Pencegahan
sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk
pencegahan, perlu dilakukan:
a. Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi
(PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus.
Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT, DT dan TT.
- DPT
: diberikan untuk imunisasi dasar
- DT:
diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan riwayat
demam dan kejang
- TT:
diberikan pada ibu hamil dan anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan
Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster
dilakukan pada usia 1,5-2 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah
0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler.
b. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera
dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar
dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan
anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang.
c. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS
hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan
imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan
sebagai profilaksis luka.
Dosis HTIG: 250–500 IU secara
intramuskuler.
4. Prognosis
Rata-rata
angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas
dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern.
Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah
masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.
Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin
pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas
kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis
tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik
harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis
dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.
Berikut
ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis tetanus menurut
sistem skoring Bleck:
Tabel. Sistem Skoring
Bleck
Sistem
Skoring
|
1
|
0
|
Masa
inkubasi
|
< 7 hari
|
≥ 7 hari
|
Awitan
penyakit
|
<
48 jam
|
≥
48 jam
|
Tempat
masuk
|
Luka bakar, luka operasi, bagian
dari fraktur, aborsi septik, tali pusat, atau penyuntikan intramuscular.
|
Selain
tempat tersebut.
|
Spasme
|
(+)
|
(-)
|
Suhu
·
Aksila
·
Rektal
|
>
38,4o C
>
40o C
|
≤
38,4o C
≤
40o C
|
Takikardia
dengan frekuensi lebih dari 120x/menit (pada neonatus >150x/menit)
|
(+)
|
(-)
|
Tetanus
umum
|
(+)
|
(-)
|
Adiksi
narkotika
|
(+)
|
(-)
|
Skor
total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut
ini:
Total
Skor
|
Derajat
Keparahan
|
Tingkat
Mortalitas
|
0-1
|
Ringan
|
<
10%
|
2-3
|
Sedang
|
10-20%
|
4
|
Berat
|
20-40%
|
5-6
|
Sangat
berat
|
>50%
|
Tetanus
sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat. Tetanus neonatorum
selalu merupakan derajat sangat berat
BAB III
KESIMPULAN
3.1. KESIMPULAN
Dari pembahasan pada skenario, kami
menyimpulkan pasien mengalami “Tetanus”. Pada gejala di skenario disebutkan
pasien sebelumnya mengalami luka sayatan oleh karena tergores kawat pagar
rumahnya. Ditambah lagi dengan perawatan luka pasien yang tidak baik
(kemungkinan terlalu dibebat) sehingga bakteri Clostridium Tetani mudah untuk
berkembangbiak dan menyebarkan toksinnya. Yang mana nantinya akan menimbulkan
gejala seperti trismus, risus sardonikus, opistotonus. Untuk penegakan
diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis karena tidak mudah
dilakukan pemeriksaan penunjang yang spesifik. Adapun penatalaksanaannya adalah
penatalaksanaan umum dan khusus.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Lumbantobing, S.M.
2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Edisi 11. Jakarta.
Penerbit FKUI.
2.
Mansjoer, A. 2009. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi
ketiga. Jakarta: Media Aeskulapius.
3.
Perdossi. 2011. Buku
Ajar Neurologi Klinis. Editor Harsono. Edisi 8. Jogjakarta. Gajah Mada
University Press.
4.
Price, Sylvia, 2006. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume2. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
5.
Sjamsuhidajat, R dan de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
6.
Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, E/5. Jakarta:Interna Publishing.
Langganan:
Postingan (Atom)