13 Mei 2014

Sprinter JRT 2014




Spongebob dan Patrick

 
 
Mungkin bagi sebagian orang, serial kartun spongbob squarepants hanyalah sebuah hiburan sekali lewat. Tapi untuk yang menyadarinya banyak sekali pesan tersirat yang ada pada kartun tersebut. Salah satunya adalah "PERSAHABATAN".
Betapa berharganya arti persahabatan antara Spongebob dan Patrick. Inilah cuplikan kata - kata persahabatan mereka :

1.”Pengetahuan tidak dapat menggantikan persahabatan. Aku (Patrick) lebih suka jadi idiot daripada kehilanganmu (Spongebob)”

 2. Spongebob: Apa yg biasanya kau lakukan saat aku pergi?
 Patrick : menunggumu kembali..

 3. Saat Spongebob menjadi kaya dan melupakan patrick, lalu tmn2 Spongebob yang kaya pergi dari Spongebob karena Spongebob sudah tidak punya uang lagi, spongebob memohon maaf kepada patrick, dan patrick berkata:
“kalau uang bisa membuatku melupakan sahabat terbaikku, maka aku lebih memilih untuk tidak punya uang sama sekali”

 4. Saat Patrick di fitnah mencuri jaring ubur2 Spongebob, Patrick berkata:
 ” Tak apa kawan.. aku mungkin hanya bintang laut yang jelek.. lebih baik aku pergi dari bikini bottom.. ini, ambil saja barang2ku.. tapi aku tak pernah mengambil jaring mu kawan..”
 (Patrick dituduh mencuri jaring tapi dia tetap sabar)

 5. Saat Spongebob mau masuk anggota jelly spotter.. terakhir Patrick bilang:
“pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat..”

 6. Saat itu orang tua Patrick mau datang menjenguk anaknya. Tapi Patrick takut dibilang bodoh oleh orang tuanya. Demi Patrick, SpongeBob bela2in akting jadi orang bodoh agar orangtua Patrick ga bilang anaknya bodoh. Lalu Patrick bilang ke SpongeBob: “TEMAN ADALAH KEKUATAN”. Dan Spongebob pun mengatakan : "Untuk teman terbaik ku aq rela terlihat bodoh".

 7. Pada episode spongebob mencari spatula baru, lalu dia dapat spatula emas, tapii spatula emasnya tidak menurut sama spongebob akhirnya dia balik menggunakan spatula nya yg lama.
Lalu Spongebob berkata: “Ternyata semua yg berkilau itu belum tentu emas”

Makalah SGD Luka Sayatan Pada Telapak Tangan



BAB I
PENDAHULUAN


1.1.   LATAR  BELAKANG
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya waktu. Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  SKENARIO
Pak “A”, laki-laki berusia 58 tahun datang ke Puskesmas dengan luka sayatan pada telapak tangannya akibat tergores kawat pagar rumahnya 6 jam yang lalu. Setelah luka dibersihkan dan dibalut, Pak “A” diberi resep antibiotik dan analgetik oral dan pesan untuk control luka 2 hari kemudian. Dua hari kemudian perban dibuka, namun luka malah bernanah dan kulit disekitar luka menjadi merah, bengkak dan nyeri saat ditekan. Dilakukan lagi perawatan luka dan pak “A” diberikan suntikan Anti Tetanus Serum 1 ampul.
Besoknya Pak “A” mengeluhkan mulutnya makin lama makin kaku dan sulit dibuka, sehingga tidak bisa makan dan minum. Keluarga kemudian membawa Pak “A” ke IGD Rumah Sakit. Selama observasi di Rumah Sakit, Pak “A” tiba-tiba saja kejang-kejang seluruh tubuh. Punggung dan leher kejang sampai melengkung, dan wajah menyeringai kaku. Saat kejang seluruh tubuh Pak “A” masih sadar. Pemeriksaan suhu badan didapatkan demam.

2.2.  TERMINOLOGI
·      ATS (Anti Tetanus Serum)
           Adalah serum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap toksin tetanus. Plasma ini dimurnikan dan dipekatkan serta mengandung fenol 0,25% sebagai pengawet. Indikasi: untuk pencegahan dan pengobatan tetanus.

2.3.  PERMASALAHAN
2.3.1.  Apa fungsi pemberian antibiotik pada scenario diatas?
2.3.2.  Jelaskan mengapa setelah dibuka perbannya, luka malah bernanah dan kulit disekitar luka menjadi merah, bengkak dan nyeri saat ditekan!
2.3.3.  Apa fungsi pemberian ATS (anti tetanus serum) pada scenario diatas?
2.3.4.  Jelaskan mengapa pasien mengalami kesulitan dalam membuka mulut; punggung dan leher kejang sampai melengkung; serta wajah menyeringai kaku!
2.3.5.  Mengapa pasien kejang namun masih dalam kondisi sadar?
2.3.6.  Apa diagnosis differential pada skenario diatas?
2.3.7.  Apa diagnosis kerja pada skenario diatas?

2.4.  PEMBAHASAN
2.4.1.  Pemberian antibiotic pada skenario bertujuan untuk memusnahkan bentuk vegetatif dari bakteri Clostridium Tetani di tempat luka, namun tidak memusnahkan toksin yang dihasilkan dari lisisnya badan sel bakteri tersebut.
2.4.2.  Penyebab setelah dibuka perbannya, luka malah bernanah dan kulit disekitar luka menjadi merah, bengkak dan nyeri saat ditekan adalah karena sifat bakteri yang anaerob (tidak bisa hidup dan berkembangbiak apabila tempat tersebut kaya akan O2) sehingga ketika perawatan pada luka tersebut tidak baik (terlalu dibebat) maka bakteri Clostridium Tetani mudah untuk berkembangbiak oleh karena kurangnyaO2 pada luka tersebut.
2.4.3.  Pemberian ATS pada scenario diatas bertujuan hanya untuk menghilangkan toksin yang beredar, namun tidak dapat menghilangkan toksin yang sudah berikatan dengan system saraf. Sehingga seharusnya pemberian ATS ini dilakukan sesegera mungkin agar tidak menimbulkan keluhan atau gejaa yang lebih berat.
2.4.4.  Penyebab pasien mengalami kesulitan dalam membuka mulut; punggung dan leher kejang sampai melengkung; serta wajah menyeringai kaku adalah ketika terdapat luka yang disebabkan baik oleh karena luka tusuk, luka bakar, luka lecet yang bersifat kotor, ditambah lagi dengan perawatan luka yang kurang baik, menyebabkan bakteri Clostridium Tetani yang awalnya berbentuk spora berubah menjadi bentuk vegetative (karena kondisi anaerob). Ketika dinding sel dari bakteri Clostridium Tetani mengalami lisis, akan dikeluarkan toksin (eksotosin) yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin berpengaruh terhadap lisisnya sel darah merah, tapi tidak terlalu berperan terhadap penyakit ini. Sedangkan yang berperan adalah tetanospasmin, yang mana nantinya toksin ini mudah berikatan dengan system saraf pusat dan berpengaruh terhadap spasme otot.
2.4.5. Penyebab pasien kejang namun masih dalam kondisi sadar ; Bakteri clostridium tetani merupakan bakteri garam positif yang bersifat anaerob. Pada keadaan anaerob ini spora bakteri bermigrasi menjadi sel vegetative. Selanjutnya, toksik akan di produksi dan menyebar keseleruh tubuh memalui perearan darah dan limfe. Toksik tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti system saraf pusat termasuk otak. Gejala klonis yang ditimbulkan oleh toksik-toksik tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmitter sehingga terjadi kontaksi otot yang tidak terkontrol. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak). Karena yang terserang hanyalah neurotransmitter maka pasien masih selalu sadar hanya otot-otot tubuhnya yang mengalami klonik. Namun dalam keadaaan bahaya seperti terserang kontraksi otot-otot pernafasan sehingga terjadi hipoksia yang bisa mencapai hipoksia otak maka dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien. Maka saat inilah terjadi resiko kematian yang tinggi.

2.4.6   Diagnosis Differential (DD)
1. Tetanus
·      Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease".
·      Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Perkiraan angka kejadian umur rata-rata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5-19 tahun dan 20-29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30-39 tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki-laki; dengan perbandingan 3:1.
·      Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik. Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang-kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
·      Patofisiologi
Clostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang-kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda-benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara:
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung-ujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik ke cornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.
Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.
·      Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-21 hari, namun dapat singkat hanya 1-2 hari dan kadang-kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium Tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1. Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). 50% penderita tetanus umum akan menuunjukkan trismus.
Dalam 24-48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupaimuka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot-otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.
Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati-hati terhadap komplikasi atau toksin menyebarluas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
a. Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang.
b. Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
c. Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
2. Tetanus Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang-kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
3. Tetanus Cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: N. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan, yaitu:
Tabel. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat
Manifestasi Klinis
I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan; tanpa disfagia atau disfagia ringan.
II (sedang)
Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas > 30x/menit; disfagia ringan.
III (berat)
Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas > 40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat.
IV (sangat berat)
(Derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular); hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap.


·      Diagnosis
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).
a.    Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
·      Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/ patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang?
·      Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
·      Apakah pernah menderita gigi berlubang?
·      Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir?
·      Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?
b.   Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
·      Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
·      Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
·      Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
·      Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
·      Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun ― masa istirahat spasme makin pendek sehingga akan jatuh dalam status konvulsivus.
·      Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang.
·      Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).
c.    Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
·      Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
·      Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
·      Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
·      Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus.
·      Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
·      EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi.
·      Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

2.  Status Epileptikus
·      Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
·      Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-kira 60.000-160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam meminum obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2%, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10%. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
·      Etiologi
Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa, penyebab utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular (22%), termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak), alkohol, penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.
Bangkitan merupakan konsekuensi dari suatu penyakit kritis. Penyebab terbanyak bangkitan yang dirawat ICU adalah sepsis dan penyakit kardiovaskuler. Penyebab bangkitan lainnya dengan angka kejadian yang tinggi adalah akibat gangguan metabolik dan intoksikasi akut akibat obat-obatan (antibiotik, gagal ginjal, hepar, CHF, obat-obat anestesi, atau akibat penghentian obat psikotropik, alkohol).
Penyebab gangguan neurologik primer adalah akibat stroke iskemik, intraserebral hemoragik, AVM, infeksi SSP, trauma dan tumor otak dan metastasis dengan angka kejadian bangkitan relatif tinggi. Insiden bangkitan sebagai komplikasi trauma kapitis sangat bervariasi, dengan perkiraan 2%-12% pada orang biasa dan 53% pada populasi militer. Presentasi dapat meningkat sampai lebih 22% dengan menggunakan monitor EEG secara terus menerus.
Faktor pencetus status epileptikus:
1.   Penderita epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
2.   Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT..
3.   Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau stres fisik.
4.   Pengunaan atau withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi.
·      Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam kejang adalah glutamat. Faktor-faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan menyebabkan terjadinya kejang.
Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu, kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah menyebabkan kejang.
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada tahap ini.  Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan saraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

·      Manifestasi Klinis
Pada status epileptikus konvulsivus manifestasi klinis dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium sebagai berikut:
1.      Pre-status, adalah suatu fase sebelum status yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan kejang sebelum menjadi status. Penanganan yang tepat pada fase ini dapat mencegah terjadinya SE.
2.      Early status, yaitu 30 menit pertama, di mana aktivitas serangan konvulsif terus-menerus bersamaan dengan aktivitas serangan kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan mekanisme homeostasis.
3.      Established status, yang berlangsung dari 30-60 menit, yang mana pada awalnya mekanisme homeostasis gagal melakukan kompensasi dan terjadilah perubahan-perubahan dan gangguan sistemik pada fungsi vital tubuh.
4.      Refracter status jika kejang berlangsung lebih dari 60 menit, meskipun telah mendapatkan terapi adekuat dengan obat-obatan antikonvulsan lini pertama.
5.      Substle status/super refrakter status, akan muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-jam, ditandai dengan aktivitas motorik berkurang secara bertahap, penderita koma dengan aktivitas motorik menjadi terbatas, dapat berupa gerakan-gerakan halus (twitching) sekitar mata dan mulut. Perubahan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan gambaran EEG menjadi flat di antara letupan-letupan epileptiform (burt-supression pattern).
·      Diagnosis
Diagnosis status epileptikus dapat langsung ditegakkan bila ada yang menyaksikan bangkitan umum tonik klonik. Status epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang telah memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui adanya minor twitching yang bisa terlihat di wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk memeriksa 236 pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang, 8% diantaranya mengalami status epileptikus nonkonvulsif yang terlihat dari gambaran EEG. Oleh karena itu, pemeriksaan EEG seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya tidak jelas.
Status epileptikus terbagi dalam dua fase. Fase pertama ditandai bangkitan tonik-klonik umum yang berhubungan dengan peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan hipertensi, hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan hiperpireksia. Selama fase ini, terjadi peningkatan aliran darah otak oleh karena adanya peningkatan kebutuhan metabolik otak. Sekitar 30 menit sesudahnya, penderita memasuki fase kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi otak, penurunan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan hipotensi sistemik. Selama fase ini terjadi disosiasi elektromekanik, di mana walaupun aktivitas bangkitan elektrik di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan bisa hanya berupa minor twitching.
3.  Meningitis
·      Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superficial. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus.
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita.Saluran nafas merupakan pintu utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.
·      Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh virus,bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.Infectious Agentmeningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli,S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita)disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidisdan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria.Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosisdan virus.Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackievirus , sedangkan Herpes simplex , Herpes zooster, dan enterovirusjarang menjadi penyebab meningitis aseptic (viral)
·      Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ ataujaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.
·      Manifestasi Klinis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengancairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirusditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirusditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam,dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyerikepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. Stadium II atau stadium transisi selama 1 – 3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.
Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebaga imana mestinya.
·      Diagnosis
Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
a.    ada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b.    Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a.         Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED. 
b.        Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.



Pemeriksaan Radiologis 
a.         Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan CT Scan.
b.        Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada.
2.4.7.  Diagnosis Kerja
           Dari pembahasan diatas, diagnosis pada pasien ini adalah “Tetanus”.
1.   Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :
a.. Penanganan spasme.
b.  Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
c.  Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
d. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
e.  Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
f.  Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.


I. Tatalaksana Umum
a.  Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
b.  Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
c.  Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
d. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
e.  Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.
II.Tatalaksana Khusus
a.    Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
·      HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%).
·      Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
·      Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
·      Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.
·      Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil.
b.   Antibiotika
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan dibeberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
2.   Komplikasi
a.    Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
b.   Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
c.    Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
d.   Komplikasi yang lain:
-  Laserasi lidah akibat kejang;
-  Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
-  Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu: bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.
3.   Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
a.    Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT, DT dan TT.
-  DPT : diberikan untuk imunisasi dasar
-  DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan riwayat demam dan kejang
-  TT: diberikan pada ibu hamil dan anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5-2 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler.
b.   Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang.
c.    Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis HTIG: 250–500 IU secara intramuskuler.
4.   Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.
Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck:
Tabel. Sistem Skoring Bleck
Sistem Skoring
1
0
Masa inkubasi
< 7 hari
7 hari
Awitan penyakit
< 48 jam
48 jam
Tempat masuk
Luka bakar, luka operasi, bagian dari fraktur, aborsi septik, tali pusat, atau penyuntikan intramuscular.
Selain tempat tersebut.
Spasme
(+)
(-)
Suhu
·      Aksila
·      Rektal

> 38,4o C
> 40o C

≤ 38,4o C
≤ 40o C
Takikardia dengan frekuensi lebih dari 120x/menit (pada neonatus >150x/menit)
(+)
(-)
Tetanus umum
(+)
(-)
Adiksi narkotika
(+)
(-)

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut ini:
Total Skor
Derajat Keparahan
Tingkat Mortalitas
0-1
Ringan
< 10%
2-3
Sedang
10-20%
4
Berat
20-40%
5-6
Sangat berat
>50%
Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat. Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat



























BAB III
KESIMPULAN

3.1.     KESIMPULAN
Dari pembahasan pada skenario, kami menyimpulkan pasien mengalami “Tetanus”. Pada gejala di skenario disebutkan pasien sebelumnya mengalami luka sayatan oleh karena tergores kawat pagar rumahnya. Ditambah lagi dengan perawatan luka pasien yang tidak baik (kemungkinan terlalu dibebat) sehingga bakteri Clostridium Tetani mudah untuk berkembangbiak dan menyebarkan toksinnya. Yang mana nantinya akan menimbulkan gejala seperti trismus, risus sardonikus, opistotonus. Untuk penegakan diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis karena tidak mudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang spesifik. Adapun penatalaksanaannya adalah penatalaksanaan umum dan khusus.




















DAFTAR PUSTAKA


1.        Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Edisi 11. Jakarta. Penerbit FKUI.
2.        Mansjoer, A. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aeskulapius.
3.        Perdossi. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Editor Harsono. Edisi 8. Jogjakarta. Gajah Mada University Press.
4.        Price, Sylvia, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume2. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
5.        Sjamsuhidajat, R dan de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
6.        Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, E/5. Jakarta:Interna Publishing.








Cari Blog Ini