A.
DEFINISI EPILEPSI
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu
gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan.
Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau
fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi
merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis
di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat
dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau
keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan
epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League
Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE)
pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak
yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas
neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi
yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
· Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
· Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan
terjadinya bangkitan selanjutnya
· Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis,
kognitif, psikologi dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan
(Octaviana, 2008).
Epilepsi adalah sindroma
otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan
paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (Baiquni, 2010).
B.
ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1.
Epilepsi primer atau
epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya
2.
Epilepsi sekunder atau
simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf
pada area jaringan otak yang abnormal.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau
akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan
karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan
otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1.
Kelainan yang terjadi
selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu
yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami
cidera.
2.
Kelainan yang terjadi
pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia),
kerusakan karena tindakan.
3.
Cidera kepala yang dapat
menyebabkan kerusakan pada otak
4.
Tumor otak merupakan
penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5.
Penyumbatan pembuluh
darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6.
Radang atau infeksi pada
otak dan selaput otak
7.
Penyakit seperti fenilketonuria
(FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang
yang berulang.
(Anonim,
2009).
C. KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi
dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe
bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Data
1. Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981) adalah
Bangkitan
parsial
1.
Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a.
Dengan gejala motorik
b.
Dengan gejala sensorik
c.
Dengan gejala otonomik
d.
Dengan gejala psikik
2.
Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a.
Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
· Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
· Dengan automatisme
b.
Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
· Dengan gangguan kesadaran saja
· Dengan automatisme
3.
Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a.
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b.
Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c.
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan
Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1.
Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan
terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama
beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan
kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin
menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2.
Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi
otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua
asinkronis. Biasanay tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
3.
Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan
tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap
yang khas. Biasanya kesadaran hilang
hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4.
Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus
tubuh. Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk,
lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka.
5.
Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran
yang di sebebkan aoleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.
Keadaan ini di ikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa
menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh.
Seranagan ini bisa berfariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini
satu saat ke satu saat lain.
6.
Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis
seranag klasik epilepsi seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan
taua pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara
cepat.
Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan
Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
Localization-related (focal, partial) epilepsies
1. Idiopatik
a.
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
b.
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2. Symptomatic
a.
Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi
anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan,
EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing.
b.
Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder
berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau
fokus tidak diketahui.
c.
Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
Epilepsi
Umum
1.
Idiopatik
a.
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
b.
Benign myoclonic epilepsy in infancy
c.
Childhood absence epilepsy
d.
Juvenile absence epilepsy
e.
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
f.
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
g.
Other generalized idiopathic epilepsies
2.
Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
a. West’s syndrome (infantile spasms)
b. Lennox gastaut syndrome
c. Epilepsy with myoclonic astatic seizures
d. Epilepsy with myoclonic absences
3.
Simtomatik
a.
Etiologi non spesifik
b.
Early myoclonic encephalopathy
c.
Specific disease states presenting with seizures
(Octaviana,
2008).
D.
PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi
neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk
neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial
membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif
membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang
ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl,
sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial
membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit
dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi
membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan
listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga
sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan
asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma
amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam
keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik,
dapat merubah atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca
akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy.
Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh
neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan
epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak (Anonim, 2009).
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan
patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah
salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik
klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak
berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat
kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara
lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal
dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga
terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal
akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik
korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi
pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan
adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang
mengkode
protein kanal ion (pada tabel berikut). Contoh: Generalized
epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Kanal
|
Gen
|
Sindroma
|
Voltage-gated
|
||
Kanal Natrium
|
SCN1A, SCN1B
SCN2A, GABRG2
|
Generalized epilepsies with febrile seizures plus
|
Kanal Kalium
|
KCNQ2, KCNQ3
|
Benign familial neonatal convulsions
|
Kanal Kalsium
|
CACNA1A, CACNB4
ACNA1H
|
Episodic ataxia tipe 2
Childhood absence epilepsy
|
Kanal Klorida
|
CLCN2
|
Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on awakening
|
Ligand-gated
|
||
Reseptor asetilkolin
|
CHRNB2, CHRNA4
|
Autosomal dominant frontal lobe epilepsi
|
Reseptor GABA
|
GABRA1, GABRD
|
Juvenile myoclonic epilepsy
|
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
CLC
Lig
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara
masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks)
sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel
neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized
epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang
berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi
depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau
terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal
convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks
kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron
(Octaviana, 2009)
Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa
diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan,
atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental
problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron
yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis.
Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan
kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik
dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya
berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor
NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi
terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR
ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian
neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas
bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal
natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang
ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik
subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat
reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang
dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion
tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita
epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.
Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat
(eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian
kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar (Sudir Purba, 2008)
E.
PENGOBATAN
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula
maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih
dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak
memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau
dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah
terjadinya kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang
kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan
biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status
epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan
dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa
menimbulkan efek samping.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu
penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga
agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah
leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita tidak
sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak
boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara
normal. Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi
otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil
mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi (Anonim, 2009).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi
farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan
potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik
glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik.
Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain
karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate
(Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam
(Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin
(Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax),
asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol
penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang
kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas
kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi
membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa
berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan
dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih
obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu
sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan
neuron sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic
acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan
memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian
dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA
dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi
levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2
yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan
bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai
penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan
kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS
lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai
antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein
SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di
sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam
mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai
antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai
antikonvulsan (Sudir Purba, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar